Branding adalah suatu kegiatan investasi, yang biasanya menelan biaya yang cukup besar. Dimulai dari penamaan (penentuan brand), pembuatan logo brand/merk, hingga kegiatan brand building yang meliputi positioning, launching, sustaining hingga rejuvenating. Kegiatan branding adalah merupakan sebagian dari kegiatan marketing, yakni suatu upaya untuk memasarkan merk ke dalam suatu pasar. Masalah sales/penjualan hanyalah sebagian dari masalah marketing ini.
Suatu kegiatan branding yang berhasil bisa membuat suatu brand/merk memiliki nilai tersendiri yang bisa diperjual belikan. Contohnya banyak sekali, antara lain adalah merk Electrolux, yang sudah dikenal masyarakat sebagai merk vacuum cleaner dan mesin cuci yang berkualitas tinggi serta tahan lama. Karena persepsi masyarakat yang kuat ini, merk tsb. bisa dijual kepada investor dengan nilai tinggi. Sementara pemilik aslinya bisa tetap memproduksi produk serupa tetapi dengan merk lain yakni “Lux”. Saat ini, merk yang memiliki nilai tinggi di dunia antara lain adalah Coca Cola dan Disney.
Branding adalah upaya untuk membangun image tentang suatu merk produk atau jasa di benak konsumen. Suatu brand/merk yang sudah memiliki perceived quality yang kuat bahkan mampu menipu lidah konsumen-nya. Hal ini banyak terbukti dalam blind test yang sering dilakukan oleh pemilik brand yang sedang memimpin pasar.
Saya sendiri pernah melakukan blind test produk margarine yang paling terkenal (merk BB) dengan merk lain yang kurang terkenal (mek Pb). Dalam blind test, konsumen lebih menyukai produk Pb., namun ketika margarine tsb. diberi label, mereka menyatakan bahwa merk BB lebih enak. Itulah “magic” dari kekuatan merk.
Sebagus apa pun suatu produk, kalau kegiatan branding-nya tidak berhasil, maka ia hanya akan tinggal menjadi sejarah yang tercatat di jurnal penemuan…
Copywriter, adalah salah satu pelaku dalam kegiatan branding. Perannya? Oooh... sangat besar! Mulai dari penamaan produk sampai pembentukan image. Jadi, jangan dikira ya copywriter itu cuma tukang tulis, tukang bikin kata-kata cantik doanks...!
Mau belajar soal branding lebih lanjut? Ayo berdiskusi di Forum copywritingskill!
Tampilkan postingan dengan label conceptual thinking. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label conceptual thinking. Tampilkan semua postingan
Selasa, Agustus 12, 2008
Senin, Februari 11, 2008
CONCEPT CHECK UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIVITAS IKLAN
Kelemahan banyak pelaku kreatif saat ini adalah kurangnya melakukan riset setelah materi iklan/ komunikasi jadi. Maklum, hari gini, sibuk kejar setoran dan dikejar deadline! Udah begitu, klien juga seringkali ngga mau tahu (atau memang tak tahu) pentingnya hal ini dilakukan. Padahal, dengan melakukan small survey saja, kita bisa mendapatkan manfaat yang sangat banyak!
Memang small survey tidak bisa mencerminkan dan apalagi mewakili pendapat seluruh target audience, namun setidaknya ia bisa memberi gambaran apakah komunikasi yang kita lakukan bisa mencapai sasaran? Kadangkala, kita sebagai creator telah begitu jatuh cinta pada karya kita sendiri sehingga lupa menempatkan diri sebagai audience; sebagai konsumen yang akan melihat dan atau mendengar iklan kita. Dengan melakukan survey, kita mendapat indikasi apakah materi itu layak tayang, atau bahkan apakah ia layak di present ke client?
Mengetahui bagaimana konsumen bereaksi terhadap materi komunikasi yang kita buat, juga membuat kita menyadari bagaimana cara berfikir orang ketika melihat iklan. Ya, kita pun juga bagian dari masyarakat, bagian dari target audience, betul. Tapi kita sebagai creator tetap saja bias – alias ngga obyektif - dalam menilai sebuah materi komunikasi, bahkan bila itu ciptaan orang lain sekalipun! Kenapa? Karena mindset kita memang sudah bias! Cobalah perhatikan diri kita sendiri ketika pagi-pagi membaca Koran: apakah berita dulu yang kita baca, atau iklan dulu yang kita perhatikan? Bandingkan dengan orang yang dunia kerjanya sama sekali tak berhubungan dengan dunia iklan: berbedakah cara mereka membaca?
Dulu, ketika awal-awal berkecimpung di periklanan, saya sering sebal dengan komentar client – yang biasanya orang asing – tentang masyarakat Indonesia:
“Indonesian people are litteral! They just read the visual!”
dalam hati saya protes berat:
“huh, under estimate banget sih sama orang Indonesia???” begitu fikir saya.
Tapi, setelah beberapa kali terlibat dalam survey concept check, kok, lama-lama saya menemukan hal yang sama juga, ya…? Jadi tengsin.
Seringkali ketika saya mensurvey lay out kepada beberapa orang, timbul pernyataan-pernyataan yang kedengaran ‘stupid’ bagi kita, tapi benar begitulah adanya. Begitulah cara mereka – yang notabene adalah calon konsumen kita - melihat, mendengar, dan membaca sebuah iklan/materi omunikasi: mereka cenderung mengasosiasikan diri dengan gambar di dalam iklan tsb. Dan yang mengejutkan, ini tak hanya terjadi di kalangan bawah – yang biasa kita sebut kelas BCD; namun juga pada strata social yang lebih tinggi; termasuk urban society dengan pendidikan di atas S1!
Mungkin karena itukah, hampir semua client selalu keberatan jika kita melakukan pendekatan negative???
Memang small survey tidak bisa mencerminkan dan apalagi mewakili pendapat seluruh target audience, namun setidaknya ia bisa memberi gambaran apakah komunikasi yang kita lakukan bisa mencapai sasaran? Kadangkala, kita sebagai creator telah begitu jatuh cinta pada karya kita sendiri sehingga lupa menempatkan diri sebagai audience; sebagai konsumen yang akan melihat dan atau mendengar iklan kita. Dengan melakukan survey, kita mendapat indikasi apakah materi itu layak tayang, atau bahkan apakah ia layak di present ke client?
Mengetahui bagaimana konsumen bereaksi terhadap materi komunikasi yang kita buat, juga membuat kita menyadari bagaimana cara berfikir orang ketika melihat iklan. Ya, kita pun juga bagian dari masyarakat, bagian dari target audience, betul. Tapi kita sebagai creator tetap saja bias – alias ngga obyektif - dalam menilai sebuah materi komunikasi, bahkan bila itu ciptaan orang lain sekalipun! Kenapa? Karena mindset kita memang sudah bias! Cobalah perhatikan diri kita sendiri ketika pagi-pagi membaca Koran: apakah berita dulu yang kita baca, atau iklan dulu yang kita perhatikan? Bandingkan dengan orang yang dunia kerjanya sama sekali tak berhubungan dengan dunia iklan: berbedakah cara mereka membaca?
Dulu, ketika awal-awal berkecimpung di periklanan, saya sering sebal dengan komentar client – yang biasanya orang asing – tentang masyarakat Indonesia:
“Indonesian people are litteral! They just read the visual!”
dalam hati saya protes berat:
“huh, under estimate banget sih sama orang Indonesia???” begitu fikir saya.
Tapi, setelah beberapa kali terlibat dalam survey concept check, kok, lama-lama saya menemukan hal yang sama juga, ya…? Jadi tengsin.
Seringkali ketika saya mensurvey lay out kepada beberapa orang, timbul pernyataan-pernyataan yang kedengaran ‘stupid’ bagi kita, tapi benar begitulah adanya. Begitulah cara mereka – yang notabene adalah calon konsumen kita - melihat, mendengar, dan membaca sebuah iklan/materi omunikasi: mereka cenderung mengasosiasikan diri dengan gambar di dalam iklan tsb. Dan yang mengejutkan, ini tak hanya terjadi di kalangan bawah – yang biasa kita sebut kelas BCD; namun juga pada strata social yang lebih tinggi; termasuk urban society dengan pendidikan di atas S1!
Mungkin karena itukah, hampir semua client selalu keberatan jika kita melakukan pendekatan negative???
Kamis, November 29, 2007
MENGKOMUNIKASIKAN LUXURIOUS PRODUCT
Beberapa tahun lalu, public (pembaca Kompas khususnya) pernah dihebohkan oleh iklan launching The Pakubuwono Residences. Dimana pada saat itu ada tiga halaman yang nyaris kosong dan hanya diisi oleh sebaris kalimat di tengah-tengahnya, dengan bunyi sebagai berikut:
Once Upon your lifetime, The Pakubuwono Residences present you all the finest thing in life ….”(maaf, saya lupa terusanya).
Banyak orang periklanan sendiri, mengajukan pertanyaan seperti ini pada kreatornya:
“Gimana cara loe ngibulin client?”
Ya, secara kasat mata, yang bisa dilihat dari iklan itu adalah: what a waste of money! Kenapa? Karena dari segi creative work-nya yach… Cuma segitu-gitu aja… ngga award-winning type gitu loch…! Jadi… ya emang wajar sih kalau timbul pertanyaan begitu (walaupun, jujur, pertanyaan ini menyinggung perasaan sang creator).
Kita semua tahu, client bukanlah mahluk bodoh yang gampang dikibulin, apalagi kalau mereka adalah orang-orang professional yang mendapatkan posisi karena kepandaian mereka. Benarkah mereka bisa dikibuli oleh mahluk aneh dari dunia periklanan???!
Mengapa tak pernah terfikirkan, apa sih pemikiran yang ada di balik materi iklan itu, sehingga sang client mau menyetujuinya? Mau membelanjakan uang sebanyak itu? Untuk apa? Nah. Itu baru pertanyaan!
Ketika kita mau mengkomunikasikan suatu produk yang sangat mewah, maka kita berhadapan dengan satu segmen masyarakat yang sangat spesifik, dengan psikografi unik, yang jumlahnya mungkin tak sampai 2% dari total penduduk Indonesia saat ini. Pengetahuan kita mengenai bagaimana mereka berfikir, bergaul, bermimpi; menjadi sangat penting, bahkan lebih penting dari pada pengetahuan kita mengenai produk itu sendiri. Mengapa? Karena pada level itu, semua produk ibaratnya sama bagusnya! Sehingga ketika kita membicarakan kelebihan salah satu produk (rational benefit) maka akan sangat mudah dipatahkan oleh produk pesaing. Sehingga, satu-satunya cara untuk menarik minat mereka adalah dengan menciptakan suatu preferensi (like & dislike) terhadap produk, atau menciptakan emotional benefit.
Sebagai deskripsi, ketika seorang lelaki dihadapkan pada dua wanita yang sama-sama cantik, sama-sama sexy, sama-sama menarik, sama-sama memiliki score 99.9, maka factor apakah yang akan mendorong dia untuk memilih salah satu diantara keduanya? Itulah yang perlu difikirkan!
Dalam kasus iklan The Pakubuwono Residences, hal itulah yang coba dilakukan. Yakni memberi kesan bahwa ini produk mewah yang sangat langka, yang hanya datang sekali seumur hidup. Begitulah komunikasinya dikemas, termasuk untuk ukuran medianya.
Once Upon your lifetime, The Pakubuwono Residences present you all the finest thing in life ….”(maaf, saya lupa terusanya).
Banyak orang periklanan sendiri, mengajukan pertanyaan seperti ini pada kreatornya:
“Gimana cara loe ngibulin client?”
Ya, secara kasat mata, yang bisa dilihat dari iklan itu adalah: what a waste of money! Kenapa? Karena dari segi creative work-nya yach… Cuma segitu-gitu aja… ngga award-winning type gitu loch…! Jadi… ya emang wajar sih kalau timbul pertanyaan begitu (walaupun, jujur, pertanyaan ini menyinggung perasaan sang creator).
Kita semua tahu, client bukanlah mahluk bodoh yang gampang dikibulin, apalagi kalau mereka adalah orang-orang professional yang mendapatkan posisi karena kepandaian mereka. Benarkah mereka bisa dikibuli oleh mahluk aneh dari dunia periklanan???!
Mengapa tak pernah terfikirkan, apa sih pemikiran yang ada di balik materi iklan itu, sehingga sang client mau menyetujuinya? Mau membelanjakan uang sebanyak itu? Untuk apa? Nah. Itu baru pertanyaan!
Ketika kita mau mengkomunikasikan suatu produk yang sangat mewah, maka kita berhadapan dengan satu segmen masyarakat yang sangat spesifik, dengan psikografi unik, yang jumlahnya mungkin tak sampai 2% dari total penduduk Indonesia saat ini. Pengetahuan kita mengenai bagaimana mereka berfikir, bergaul, bermimpi; menjadi sangat penting, bahkan lebih penting dari pada pengetahuan kita mengenai produk itu sendiri. Mengapa? Karena pada level itu, semua produk ibaratnya sama bagusnya! Sehingga ketika kita membicarakan kelebihan salah satu produk (rational benefit) maka akan sangat mudah dipatahkan oleh produk pesaing. Sehingga, satu-satunya cara untuk menarik minat mereka adalah dengan menciptakan suatu preferensi (like & dislike) terhadap produk, atau menciptakan emotional benefit.
Sebagai deskripsi, ketika seorang lelaki dihadapkan pada dua wanita yang sama-sama cantik, sama-sama sexy, sama-sama menarik, sama-sama memiliki score 99.9, maka factor apakah yang akan mendorong dia untuk memilih salah satu diantara keduanya? Itulah yang perlu difikirkan!
Dalam kasus iklan The Pakubuwono Residences, hal itulah yang coba dilakukan. Yakni memberi kesan bahwa ini produk mewah yang sangat langka, yang hanya datang sekali seumur hidup. Begitulah komunikasinya dikemas, termasuk untuk ukuran medianya.
Rabu, November 28, 2007
MENGIKLANKAN PARITY PRODUCT
Parity product sangat banyak kita jumpai dalam kategori consumer products. Parity product adalah produk-produk me too yang biasanya ngga punya USP (nggak punya keunggulan spesifik). Bagi orang kreatif, mengiklankan suatu produk yang seperti ini akan merupakan tantangan tersendiri, sebab ia akan sangat tergantung dengan kreativitas (the HOW TO SAY) karena WHAT TO SAY nya sama aja dengan produk sejenis! Di sinilah ide yang unik dan memorable sangat dibutuhkan.
Seorang ‘dewa’ periklanan pernah mengatakan: if you can’t sell anything, sing it! Mungkin ini bisa memberikan indikasi bagaimana cara kita memperlakukan parity products. Well, tentunya kita bukan ‘ngga punya apa-apa’, tentu saja suatu produk dilempar ke pasar pasti dengan segala keungulan yang diyakini pemiliknya bisa ‘menjual’. Masalahnya, ketika ia masuk pasar, ada banyak pesaing dengan keunggulan sejenis. Contoh: AC dengan fitur plasma yang mampu membunuh virus, kuman bla…bla…bla… Nah, bila pada saat itu brand-brand lain udah mengkomunikasikanya, maka brand yang akan kita lempar ke pasar hanya akan menjadi produk sejenis, menjadi parity products.
Mengiklankan (lebih tepatnya meluncurkan) parity products itu ibarat memperkenalkan seorang kekasih yang biasa-biasa saja pada kedua orang tua kita. Yah.. apa yang dapat kita lakukan agar ia diterima dengan baik? Setidaknya, kita bisa memberikan kesan yang menyenangkan, bukan? Cari hari baik (timing strategy), mood yang baik (tone and manner) bagi kedua belah fihak, serta gunakan cara yang simpatik untuk membawanya pulang (give emotional value). Singkatnya, just try to be nice! Lebih baik lagi kalau kita bisa menciptakan sikon yang dramatis sehingga kehadiran sang kekasih ke lingkungan keluarga kita bisa menjadi suatu moment yang ‘memorable’!
Simpatik, menarik, unik, susah dilupakan, itulah criteria ide yang harus dicari guna memperkenalkan parity products secara baik!
Seorang ‘dewa’ periklanan pernah mengatakan: if you can’t sell anything, sing it! Mungkin ini bisa memberikan indikasi bagaimana cara kita memperlakukan parity products. Well, tentunya kita bukan ‘ngga punya apa-apa’, tentu saja suatu produk dilempar ke pasar pasti dengan segala keungulan yang diyakini pemiliknya bisa ‘menjual’. Masalahnya, ketika ia masuk pasar, ada banyak pesaing dengan keunggulan sejenis. Contoh: AC dengan fitur plasma yang mampu membunuh virus, kuman bla…bla…bla… Nah, bila pada saat itu brand-brand lain udah mengkomunikasikanya, maka brand yang akan kita lempar ke pasar hanya akan menjadi produk sejenis, menjadi parity products.
Mengiklankan (lebih tepatnya meluncurkan) parity products itu ibarat memperkenalkan seorang kekasih yang biasa-biasa saja pada kedua orang tua kita. Yah.. apa yang dapat kita lakukan agar ia diterima dengan baik? Setidaknya, kita bisa memberikan kesan yang menyenangkan, bukan? Cari hari baik (timing strategy), mood yang baik (tone and manner) bagi kedua belah fihak, serta gunakan cara yang simpatik untuk membawanya pulang (give emotional value). Singkatnya, just try to be nice! Lebih baik lagi kalau kita bisa menciptakan sikon yang dramatis sehingga kehadiran sang kekasih ke lingkungan keluarga kita bisa menjadi suatu moment yang ‘memorable’!
Simpatik, menarik, unik, susah dilupakan, itulah criteria ide yang harus dicari guna memperkenalkan parity products secara baik!
Selasa, November 27, 2007
KRITERIA IDE YANG BAIK
Seringkali dalam review kreatif internal, anggota tim kreatif merasa frustasi lantaran ide-nya tidak juga ‘gol-gol’ alias diterima oleh CD-nya. Apa kurang kreatif? Apa kurang gila? Atau apa? Seperti apa sih ide yang dianggap ‘baik’ itu? Nah, saya akan mencoba menjawabnya walaupun mungkin CD lain punya criteria yang lain pula
Biasanya, ide yang baik akan memenuhi criteria-kriteria sbb.:
1. simple
2. unique
3. memorable
4. relevant
5. campaignable
6. original
1. Simple: Makin simple ide yang kita punya, makin mudah melakukan penetrasi ke otak audience. Sebab iklan hanya memiliki beberapa setik untuk menyampaikan pesan, sehingga perlu penyederhanaan isi pesan. Semakin sederhana isi pesan, semakin kreatif cara kita menyampaikanya. Simplicity pada hakekatnya adalah ‘strategi’ komunikasi yang kita pilih untuk kita tonjolkan di atas segala kelebihan brand dibanding pesaingnya.
2. Uniqueness biasanya juga disebut sebagai iklan dengan ide yang ‘out of the box’, different, break the rule dll. ya, tentunya. Di tengah segala gegap gempita informasi yang diterima masyarakat saat ini, maka perlu cara-cara yang unik untuk mendapat perhatian dari mereka. Ingat, iklan tidak saja bersaing dengan sesama iklan, namun juga dengan berita, gossip dan beragam informasi lain. Unik kadangkala juga dijadikan ungkapan untuk ide yang dianggap cukup ‘original’ dan fresh.
3. Ide yang baik adalah ide yang memorable, ide yang akan diingat karena keunikanya. Baik unik secara materinya itu sendiri (konsep iklannya), penempatan (strategi media), maupun perpaduan diantara semua factor (seperti media ambient dll.). Faktor ‘memorable’ ini menjadi penting ketika budget yang dimiliki bisa dibilang ‘mepet’ atau terbatas. Biasanya, iklan-iklan PSA/ILM sangat membutuhkan ide-ide yang memorable, supaya sekali lihat saja orang sudah aware dengan pesan yang disampaikan.
4. Ide yang baik adalah ide yang ‘gila’ namun tetap relevan dengan fitur produk atau benefit brand. Ide yang baik adalah ide yang ‘on strategy’, menonjolkan benefit utama yang ingin disampaikan, bukan ide yang hanya kelihatan kreatif tanpa isi. Mungkin saja iklan demikian ini diingat orang, dicintai pemirsa, jadi favorit, tapi kalau ia tak bisa menyampaikan benefit produk sesuai strategi yang telah disusun, maka ide itu bisa disebut ‘sampah’. Dalam hal ini lah saya setuju dengan Ogilvy, bahwa ide yang baik adalah ide yang ‘menjual’. Maksudnya, ya yang sesuai dengan strategi yang kita telah canangkan.
5. Ide yang baik juga haruslah ide yang bisa di 'extend into thousand of ideas!' Ide yang harus memiliki ‘core’ kuat agar bisa dikembangkan menjadi beragam series of ad. Contoh terbaik untuk iklan demikian adalah seri iklan ABSOLUT Vodka.
Biasanya, ide yang baik akan memenuhi criteria-kriteria sbb.:
1. simple
2. unique
3. memorable
4. relevant
5. campaignable
6. original
1. Simple: Makin simple ide yang kita punya, makin mudah melakukan penetrasi ke otak audience. Sebab iklan hanya memiliki beberapa setik untuk menyampaikan pesan, sehingga perlu penyederhanaan isi pesan. Semakin sederhana isi pesan, semakin kreatif cara kita menyampaikanya. Simplicity pada hakekatnya adalah ‘strategi’ komunikasi yang kita pilih untuk kita tonjolkan di atas segala kelebihan brand dibanding pesaingnya.
2. Uniqueness biasanya juga disebut sebagai iklan dengan ide yang ‘out of the box’, different, break the rule dll. ya, tentunya. Di tengah segala gegap gempita informasi yang diterima masyarakat saat ini, maka perlu cara-cara yang unik untuk mendapat perhatian dari mereka. Ingat, iklan tidak saja bersaing dengan sesama iklan, namun juga dengan berita, gossip dan beragam informasi lain. Unik kadangkala juga dijadikan ungkapan untuk ide yang dianggap cukup ‘original’ dan fresh.
3. Ide yang baik adalah ide yang memorable, ide yang akan diingat karena keunikanya. Baik unik secara materinya itu sendiri (konsep iklannya), penempatan (strategi media), maupun perpaduan diantara semua factor (seperti media ambient dll.). Faktor ‘memorable’ ini menjadi penting ketika budget yang dimiliki bisa dibilang ‘mepet’ atau terbatas. Biasanya, iklan-iklan PSA/ILM sangat membutuhkan ide-ide yang memorable, supaya sekali lihat saja orang sudah aware dengan pesan yang disampaikan.
4. Ide yang baik adalah ide yang ‘gila’ namun tetap relevan dengan fitur produk atau benefit brand. Ide yang baik adalah ide yang ‘on strategy’, menonjolkan benefit utama yang ingin disampaikan, bukan ide yang hanya kelihatan kreatif tanpa isi. Mungkin saja iklan demikian ini diingat orang, dicintai pemirsa, jadi favorit, tapi kalau ia tak bisa menyampaikan benefit produk sesuai strategi yang telah disusun, maka ide itu bisa disebut ‘sampah’. Dalam hal ini lah saya setuju dengan Ogilvy, bahwa ide yang baik adalah ide yang ‘menjual’. Maksudnya, ya yang sesuai dengan strategi yang kita telah canangkan.
5. Ide yang baik juga haruslah ide yang bisa di 'extend into thousand of ideas!' Ide yang harus memiliki ‘core’ kuat agar bisa dikembangkan menjadi beragam series of ad. Contoh terbaik untuk iklan demikian adalah seri iklan ABSOLUT Vodka.
Kamis, November 15, 2007
HOW TO DEVELOP A CONCEPT
Apakah yang disebut ‘konsep’ itu? Bisakah ia diraba dan atau digambarkan serta dirasakan? Mengapa ia menjadi begitu penting, sehingga para juri di berbagai lomba kreativitas iklan memberinya porsi hingga 40% untuk bobot ‘konsep’ itu sendiri? Lalu apa bedanya konsep dengan ide?
Seorang teman memberikan definisi sebagai berikut: konsep adalah pemikiran menyeluruh mengenai sebuah pemecahan masalah, dan ide hanyalah merupakan salah satu komponen di dalamnya.
Saya sendiri memberi definisi bahwa konsep adalah sebuah pemikiran terpadu dan menyeluruh, guna menjuju kepada suatu tujuan tertentu.
Apa pun definisi yang anda percaya, namun tentunya lebih penting lagi untuk mengetahui, bagaimanakah cara menyusun suatu konsep? Apa gunanya juga? Kenapa konsep ini menjadi begitu penting?
Kemampuan untuk menyusun konsep bagi seorang copywriter biasanya sangat tergantung dari ‘jam terbang’ yang ia miliki, variasi kategori produk yang pernah ia tangani, dan tim seperti apa yang pernah menjadi rekan kerjanya; sebab hal ini akan mempengaruhi cara dia berfikir.
Untuk bisa menyusun konsep, maka diperlukan product knowledge serta target audience knowledge yang cukup mendalam. Pengetahuan mengenai karakter kategori produk, plus peta persainganya juga sangat berpengaruh dalam penyusunan konsep. Misalnya, mereka yang pernah memegang account otomotif tentu tahu, bahwa gambar produk harus besar karena market Indonesia sangat terpengaruh oleh model. Karena itu, ia tak akan menghabiskan waktunya untuk membuat materi komunikasi yang di luar batasan-batasan tsb.
Untuk menentukan konsep apa yang kuat (baik) bagi suatu segmen masyarakat tertentu, dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang luas, sehingga biasanya perlu bantuan para senior untuk bisa menyusun konsep yang baik.
Beberapa agency memiliki criteria tersendiri untuk menilai apakah itu yang disebut dengan konsep yang baik, tapi biasanya konsep yang baik itu memenuhi persyaratan seperti : simple, single minded, unique, relevant, campaignable
Artikel sebelumnya, yg berjudul ‘a shortcut to ideas’ mungkin bisa memberi pencerahan, tentang bagaimana cara mudah untuk menyusun suatu konsep iklan. Berikut adalah contoh print ad yg saya bahas dalam artikel tsb: iklan Panadol.
Seorang teman memberikan definisi sebagai berikut: konsep adalah pemikiran menyeluruh mengenai sebuah pemecahan masalah, dan ide hanyalah merupakan salah satu komponen di dalamnya.
Saya sendiri memberi definisi bahwa konsep adalah sebuah pemikiran terpadu dan menyeluruh, guna menjuju kepada suatu tujuan tertentu.
Apa pun definisi yang anda percaya, namun tentunya lebih penting lagi untuk mengetahui, bagaimanakah cara menyusun suatu konsep? Apa gunanya juga? Kenapa konsep ini menjadi begitu penting?
Kemampuan untuk menyusun konsep bagi seorang copywriter biasanya sangat tergantung dari ‘jam terbang’ yang ia miliki, variasi kategori produk yang pernah ia tangani, dan tim seperti apa yang pernah menjadi rekan kerjanya; sebab hal ini akan mempengaruhi cara dia berfikir.
Untuk bisa menyusun konsep, maka diperlukan product knowledge serta target audience knowledge yang cukup mendalam. Pengetahuan mengenai karakter kategori produk, plus peta persainganya juga sangat berpengaruh dalam penyusunan konsep. Misalnya, mereka yang pernah memegang account otomotif tentu tahu, bahwa gambar produk harus besar karena market Indonesia sangat terpengaruh oleh model. Karena itu, ia tak akan menghabiskan waktunya untuk membuat materi komunikasi yang di luar batasan-batasan tsb.
Untuk menentukan konsep apa yang kuat (baik) bagi suatu segmen masyarakat tertentu, dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang luas, sehingga biasanya perlu bantuan para senior untuk bisa menyusun konsep yang baik.
Beberapa agency memiliki criteria tersendiri untuk menilai apakah itu yang disebut dengan konsep yang baik, tapi biasanya konsep yang baik itu memenuhi persyaratan seperti : simple, single minded, unique, relevant, campaignable
Artikel sebelumnya, yg berjudul ‘a shortcut to ideas’ mungkin bisa memberi pencerahan, tentang bagaimana cara mudah untuk menyusun suatu konsep iklan. Berikut adalah contoh print ad yg saya bahas dalam artikel tsb: iklan Panadol.
Selasa, November 13, 2007
A SHORTCUT TO IDEAS
Pemain pemula di tim kreatif seringkali merasa kebingungan ketika mulai membuat suatu campaign. Dari mana harus mulai? Apa yang harus dilakukan? Apakah langsung membuat scetch, storyline dan script? Atau bagaimana?
Dalam review pertama, seringkali finished script belum lah diperlukan! Sebab yang lebih penting adalah ide, ide dan ide! Konsep dan konsep! Nah masalahnya, binatang apa sih konsep itu??? Kok diributin amat??
Seorang teman memberikan definisi yang cukup baik mengenai konsep: pemikiran terpadu (thorough thinking) untuk penyelesaian masalah. Hihi.. mungkin temen saya itu orang yang melihat bahwa hidup ini penuh dengan problema, sehingga selalu perlu solusi. Tapi menurut saya, konsep itu juga bisa berarti ‘pemikiran terpadu untuk menuju ke suatu tujuan tertentu’ (certain objective).
Apa pun definisinya, yang penting bagi praktisi adalah: gimana mencarinya? Apa tips dan tehnik untuk mencipta konsep? Nah, mungkin urutan ini bisa menjadi clue yang membantu:
1. biggest issue against the brand
2. concept statement
3. slogan crafting
4. campaign idea to convey
Urutan pertama adalah analisa, yang biasanya dilakukan dengan sangat komprehensif (oleh client service dept.) dengan analisa SWOT dll. dsb. Ya emang perlu sih. Tapi cobalah kita tangkap esensinya saja, coba tangkap isu terbesar yang dirasakan oleh konsumen pada saat itu. Itulah yang dilakukan oleh Neil French ketika mengkomunikasikan Panadol. Ia hanya peduli dengan isu yang berkembang saat itu: di mana orang harus menelan dua pil aspirin sekaligus untuk menghilangkan sakit kepala; fakta yang membuat orang seringkali berfikir..’kenapa sih ngga membuat obat yang lebih ampuh, sehingga kita tak perlu menelan dua pil?’ Nah, itulah yang dilakukan Panadol: menciptakan formula khusus agar orang cukup menelan satu pil saja.
Yang kedua, yakni pembuatan concept statement, ini sebenarnya hanyalah bentuk pemikiran kita, yang nantinya harus di implementasikan dalam berbagai materi. Statement ini kurang lebih juga merupakan cerminan dari strategy yang dipilih, yakni yang merupakan WHAT TO SAY brand.
Cara paling indah, tajam, dan kelak sangat bermanfaat bagi kampanye brand adalah penciptaan slogan yang memorable and unique. Untuk contoh kampenye Panadol, French menggunakan slogan yang sangat sederhana: one is enough. Ya, slogan memang seharusnya menjadi cerminan paling sederhana dari positioning brand (lihat artikel 10).
Setelah itu, ide eksekusi deh… apa saja sih cara yang paling unique and memorable untuk menyampaikan pesan ‘one is enough’ pada saat itu di tempat itu? Di sinilah kepekaan dan wawasan insan kreatif diperlukan. Mr French dengan jeli memotret slogan ‘one is enough’ itu dengan menampilkan sosok mirip George Bush dan anaknya, (lihat gambar di pojok kiri) yang sedang menggemparkan dunia dengan serangan ke Irak dan Afghanistan itu. Jadilah sebuah iklan yang simple, mengundang senyum, namun juga menyampaikan pesan produk secara sangat jelas: one is enough. Phew!
Dalam review pertama, seringkali finished script belum lah diperlukan! Sebab yang lebih penting adalah ide, ide dan ide! Konsep dan konsep! Nah masalahnya, binatang apa sih konsep itu??? Kok diributin amat??
Seorang teman memberikan definisi yang cukup baik mengenai konsep: pemikiran terpadu (thorough thinking) untuk penyelesaian masalah. Hihi.. mungkin temen saya itu orang yang melihat bahwa hidup ini penuh dengan problema, sehingga selalu perlu solusi. Tapi menurut saya, konsep itu juga bisa berarti ‘pemikiran terpadu untuk menuju ke suatu tujuan tertentu’ (certain objective).
Apa pun definisinya, yang penting bagi praktisi adalah: gimana mencarinya? Apa tips dan tehnik untuk mencipta konsep? Nah, mungkin urutan ini bisa menjadi clue yang membantu:
1. biggest issue against the brand
2. concept statement
3. slogan crafting
4. campaign idea to convey
Urutan pertama adalah analisa, yang biasanya dilakukan dengan sangat komprehensif (oleh client service dept.) dengan analisa SWOT dll. dsb. Ya emang perlu sih. Tapi cobalah kita tangkap esensinya saja, coba tangkap isu terbesar yang dirasakan oleh konsumen pada saat itu. Itulah yang dilakukan oleh Neil French ketika mengkomunikasikan Panadol. Ia hanya peduli dengan isu yang berkembang saat itu: di mana orang harus menelan dua pil aspirin sekaligus untuk menghilangkan sakit kepala; fakta yang membuat orang seringkali berfikir..’kenapa sih ngga membuat obat yang lebih ampuh, sehingga kita tak perlu menelan dua pil?’ Nah, itulah yang dilakukan Panadol: menciptakan formula khusus agar orang cukup menelan satu pil saja.
Yang kedua, yakni pembuatan concept statement, ini sebenarnya hanyalah bentuk pemikiran kita, yang nantinya harus di implementasikan dalam berbagai materi. Statement ini kurang lebih juga merupakan cerminan dari strategy yang dipilih, yakni yang merupakan WHAT TO SAY brand.
Cara paling indah, tajam, dan kelak sangat bermanfaat bagi kampanye brand adalah penciptaan slogan yang memorable and unique. Untuk contoh kampenye Panadol, French menggunakan slogan yang sangat sederhana: one is enough. Ya, slogan memang seharusnya menjadi cerminan paling sederhana dari positioning brand (lihat artikel 10).
Setelah itu, ide eksekusi deh… apa saja sih cara yang paling unique and memorable untuk menyampaikan pesan ‘one is enough’ pada saat itu di tempat itu? Di sinilah kepekaan dan wawasan insan kreatif diperlukan. Mr French dengan jeli memotret slogan ‘one is enough’ itu dengan menampilkan sosok mirip George Bush dan anaknya, (lihat gambar di pojok kiri) yang sedang menggemparkan dunia dengan serangan ke Irak dan Afghanistan itu. Jadilah sebuah iklan yang simple, mengundang senyum, namun juga menyampaikan pesan produk secara sangat jelas: one is enough. Phew!
Langganan:
Postingan (Atom)