Anak-anak di kantor heran ketika saya tahu trend-trend lagu yang lagi nongkrong di MTV ampuh. Tambah heran ketika mereka tahu saya punya file mp3-nya. Sementara saya juga heran, gimana mungkin mereka ngga tahu sesuatu yang sedang hot di TV, di radio-radio, bahkan di kalangan anak muda? Bukan saja karena anak-anak creative di kantor memang masih muda, namun bukankah mereka berada di industri kreatif? Bagaimana bisa out of dated ???
Untuk menjadi kreatif, otak kita harus mendapat informasi sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya. Kita harus menyimak, memperhatikan, mengikuti, apa pun yang sedang terjadi di sekitar kita. Tak perduli apa pun batasanya. Sebab ketika kita menggali ide, kita harus membongkar seluruh isi otak kita, seluruh pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang kita miliki. Nah, kalau kita tak pernah mengisinya, apa yang mau kita gali???
Mencari pengetahuan tidaklah perlu memiliki alasan. Saya selalu percaya bahwa setiap pengetahuan – seremeh apa pun itu – suatu saat pastilah akan menjadi sumber ide.
Pernah juga suatu kali, seorang AE menjerit ketika menemukan tabloid Nova di mobil saya: “Aduh…! Ngga pantes banget sih mbak Nunu, baca ginian???”
So?? Apa salahnya kalau saya ingin mengetahui apa yang disenangi ibu-ibu rumah tangga? Apa yang lagi hot di tengah mereka? Bahasa seperti apa yang mereka gunakan? Logika seperti apa yang mengalir di otak mereka? Iklan apa saja yang dipasang di situ? Bisnis apa yang hot di kalangan mereka? Saya bahkan membaca iklan barisnya! Apa saya memerlukan alasan logis untuk membacanya? Saya hanya ingin tahu. Untuk apa… entahlah. Tapi, suatu saat pasti berguna.
Seringkali ketika membantu writer membuat judul, mereka terkejut dan bilang:”wah, kok bisa kepikiran seperti itu ya?” Mungkin, itulah gunanya memenuhi otak dgn segala yang kelihatan ngga penting tadi! Ia tiba-tiba bisa meloncat keluar ketika diperlukan.
Seorang writer saya setiap hari selalu membuka situs ads of the world, dan yang lainnya selalu menyimak contoh-contoh iklan yang menang award dari seluruh dunia. Ngga apa juga sih… tapi hal ini membuat saya berfikir… jangan-jangan kita cenderung menjadi plagiator karena kebanyakan referensi iklan? Sehingga otak kita dipenuhi dengan iklan-iklan luar, yang pada akhirnya menjadi sumber ide – karena ia tenggelam jauh di bawah sadar kita – dan melahirkan output yang nyaris sama? Apakah karena itu, sulit sekali bagi kita untuk menjadi original? Dan apakah karena itu pula, copywriter jaman dahulu - yang relative sulit mengakses iklan dari luar- bisa lebih ‘Indonesia’ ketika menciptakan kata-kata? Slogan jadul seperti “Terus Terang, Philips Terang Terus’ … terasa sangat Indonesia, sampai-sampai ngga bisa di inggrisin!
Rabu, November 14, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
wah tulisan ini 'menjewer' saya, terutama paragraf terakhirnya :). makasi banyak mbak. sangat insightful.
dulu nya kebiasaan saya juga kayak gitu, mencari inspirasi dari menyimak contoh-contoh karya luar negeri (terutama barat tentunya) yg sejenis.
waktu di indo sih masih nggak begitu diperhatikan. efeknya terasa waktu pindah ke tokyo, dimana karakter desain-desain mereka (jepang) sangat kental plus rasa nasionalisme yang tinggi. di mata mereka desain saya menjadi sangat 'barat' dan mereka nggak suka hehe.
jadi sekarang saya sedang dalam proses mencuci otak dan menghindari metode pencarian ide seperti itu. mulai membuka 'mata' selebar-lebarnya, tidak terbatas pada bidang keilmuan desain saja, karna seperti kata mbak, setiap pengetahuan suatu saat pasti akan jadi sumber ide.
wah baru ajah aku dikritik masalah ini barusan, jadi "ting.." "gue banget ..".. tanks dah di ingetin buat tetep liat sekitar lebih jeli...
Posting Komentar