Kamis, Juni 04, 2009

KASUS PRITA: ”BAD PR” BUAT RS OMNI INTERNATIONAL

Betapa gagahnya rumah sakit dengan embel-embel ’international’ itu memenjarakan seorang ibu rumah tangga hanya gara-gara sebuah surat email! Dijerat dengan undang-undang cyber crime, pula! Lah! Emangnya sekarang udah dilarang ya, nulis ’surat pembaca’. Emangnya rumah sakit ini nggak tahu – atau nggak mau tahu – untuk menggunakan hak jawabnya ya..?

Okelah, katakan RS Omni akan memenangkan kasus ini dan Prita betul-betul dipenjara. Lantas apa yang didapat? Kepercayaan? Atau justru antipati? Rasa takut? Rasa insecure dari masyarakat...?

Hei, bukankah orang datang berobat ke suatu rumah sakit karena ia percaya di sana ia ditangani dengan baik, dengan betul, dan dipenuhi hak-haknya sebagai pasien, termasuk rasa aman serta nyaman dalam menyampaikan keluhan..?

Hari ini saya dengar, para facebooker yang mendukung Prita sudah 11 000 orang. Itu artinya, ada sebanyak itu pula orang yang punya perasaan negatif kepada RS Omni. Belum lagi kalau masing-masing dari mereka menceritakan kepada 10 orang temannya! Coba, berapa banyak orang yang kehilangan seimpati kepada rumah sakit ini...?!

Ingat, brand building is image building. Image adalah persepsi. Di dalam manajemen brand building, ada elemen brand feel. Nah, dengan adanya kasus ini, apa jadinya brand feel of RS Omni? Negative atau positif…? (jawab sendiri deh! Ntar saya ditangkep pula!)

Kalau saja RS Omni tahu how to manage their brand! Mereka tidak akan mengedepankan masalah hukum yang bakal merusak citra mereka hingga beberapa puluhtahun ke depan...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

RS OMNI Iternational Alam Sutera Juga Menggugat Almarhum Pasien….
KOMPAS, Jumat, 5 Juni 2009 (halaman 25)  Kasus lain juga terjadi. Akhir tahun lalu PT Sarana Meditama Metropolitan (yang mengelola RS Omni Internasional) juga melayangkan gugatan terhadap salah satu pasiennya karena alasan pembayaran tagihan. Pihak keluarga pasien belum membayar tagihan biaya perawatan karena menilai nilai tagihan tak wajar.
Pada Kamis kemarin, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang gugatan itu. Sedianya, sidang diisi dengan pembacaan putusan. Namun, Ketua Majelis Hakim Reno Listowo menunda pembacaan putusan karena terdapat pergantian hakim.
Kasus itu bermula ketika Abdullah Anggawie (almarhum) masuk ke RS Omni Medical Center (OMC), Pulo Mas, Jakarta Timur, pada 3 Mei 2007. Abdullah dirawat selama lebih kurang tiga bulan sampai akhirnya meninggal pada 5 Agustus 2007.
Saat meninggal, pihak RS mencatat masih ada tagihan sebesar Rp 427,268 juta. Total biaya perawatan selama tiga bulan mencapai Rp 552,268 juta. Pihak keluarga telah membayar uang muka Rp 125 juta sehingga tagihan tersisa Rp 427,268 juta.
Pada 24 November 2008, PT Sarana Meditama Metropolitan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilayangkan kepada Tiem F Anggawi, PT Sinar Supra Internasional, yang berperan sebagai penjamin berdasarkan surat jaminan 28 Juni 2007, dan Joesoef Faisal yang bertindak sebagai penanggung jawab perawatan pasien Abdullah di RS.
Kuasa hukum pasien, Sri Puji Astuti, mengatakan, pihaknya sebenarnya bukan tidak bersedia membayar tagihan. Namun, pihaknya meminta RS mengeluarkan resume biaya dan rekam medis milik pasien terlebih dahulu. Namun, hingga kini rekam medis tersebut tidak diberikan.
”Sampai sekarang keluarga tidak tahu sakitnya apa. Selama tiga bulan perawatan itu pun tidak diberi tahu,” ujar Sri Puji Astuti. (silahkan klik : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/05/03230421/menkes.lapor.ke.jalur.yang.benar).